ACADSTAFF UGM

CREATION
Title : Pembicara di Diskusi LIBERA "Di Bawah Cahaya Mulan: Dari Harapan Hingga Boikot"
Author :

Mashita Phitaloka Fandia Purwaningtyas, S.I.P., M.A. (1)

Date : 20 2020
Abstract : Mulan merupakan film animasi yang pertama dirilis oleh Disney pada tahun 1998. Film ini berlatar dinasti Han dan berkisah tentang heroin yang pergi perang untuk menggantikan ayahnya yang merupakan seorang veteran yang sudah lanjut usia. Film ini merupakan salah satu film Disney yang paling signifikan sebab ia membawakan cerita dengan latar budaya Tiongkok tentang perempuan berani yang melawan tatanan sosial patriarkis. Pada tahun 2017, Disney mengumumkan rencana untuk memproduksi kembali film Mulan; kali ini dengan pemeran manusia sebagai ganti animasi. Tentunya penggemar film Mulan (1998) memiliki harapan yang tinggi terhadap remake film tersebut. Selain rasa nostalgia, sentimen ini juga didorong oleh tren polemik film yang dianggap tidak akurat secara budaya, bahkan whitewashed. Film Mulan berpotensi menjadi terobosan bagi representasi kultur dan etnis Asia Timur di kancah Hollywood. Pada bulan September 2020, film Mulan yang terbaru dirilis. Alih-alih memperoleh respon positif dari penontonnya, film tersebut malah menimbulkan berbagai macam kontroversi: mulai dari proses produksi; budaya yang digambarkan; hingga tumpang tindih dengan masalah sosial-politik yang ada di Tiongkok itu sendiri. Kontroversi seputar film Mulan bermula ketika aktor yang memerankan mulan, Liu Yifei, menyatakan dukungannya secara publik terhadap tindakan polisi di Hong Kong; sebuah pernyataan yang dianggap bermasalah di tengah iklim hubungan Tiongkok dengan Hong Kong yang kian memanas dan dipenuhi kekerasan. Arus suara “tidak terima” tidak hanya disebabkan oleh tindakan Liu Yifei tersebut, melainkan juga dikarenakan oleh kontroversi terkait lokasi pengambilan gambar. Lokasi pengambilan gambar untuk film Mulan dilakukan di Xinjiang; sebuah lokasi yang merupakan tempat terjadinya “pendisiplinan” kelompok muslim Uyghur oleh pemerintah Tiongkok. Hal tersebut dapat diverifikasi melalui daftar ucapan terima kasih pada bagian credit title di bagian akhir film. Kemudian, harapan penonton akan nostalgia animasi Mulan juga berpengaruh terhadap penilaian pasar dalam hal-hal intrinsik film. Penonton menilai bahwa versi live action dari Mulan berbeda dengan versi animasinya. Lebih jauh lagi, sebagai sebuah cerita yang berangkat dari sejarah, film Mulan menunjukkan ketidaksesuaiannya dengan sejarah. Irrelevansi tersebut terdapat dalam hal penggantian identitas tokoh Mulan, yang seharusnya adalah Proto-Mongolic Xianbei dan tinggal di Tiongkok bagian utara pada abad kelima, menjadi seseorang yang beretnis Han. The Guardian menyebutkan bahwa hal tersebut merupakan suatu upaya pemunculan otentisitas baru dari tokoh Mulan. Berangkat dari ramainya perbincangan di jagat maya yang ditandai dengan naiknya tagar #BoycottMulan di platform media sosial Twitter, Libera hendak mengangkat topik atau isu pemboikotan film Mulan. Diskusi ini akan menyorot pemboikotan Mulan dari dua sudut pandang, yaitu dari sudut padang seni dan budaya, serta sudut pandang sosial-politik.
Group of Knowledge :
Original Language :
Level : Nasional
Status :
Document
No Title Document Type Action
1 Sertifikat Speaker (Mashita Pitaloka).pdf
Document Type : Sertifikat
Sertifikat View