Abstract |
: |
Salah satu lembaga keuangan terpenting dalam perekonomian modern saat ini adalah Bank Sentral. Dewasa ini hampir tiap negara mempunyai Bank Sentral. Peter S. Rose memberi definisi bahwa Bank Sentral adalah agen pemerintah yang mempunyai fungsi kebijakan publik terpenting dalam pengawasan kegiatan sistem keuangan dan pengendalian jumlah peredaran uang. Umumnya di berbagai negara, peranan Bank Sentral dalam sistem keuangan dan perekonomian, meliputi: (a). mengontrol peredaran uang, (b) menjaga stabilitas pasar uang dan pasar modal, (c) menjaga mekanisme pembayaran, (d) mengawasi sistem perbankan, dan (e) memberikan pinjaman terakhir (lender of the last resort/LoLR) atau bertindak sebagai bankir
bank umum dalam negeri (banker’s bank).2 Dalam sejarah Bank Sentral di dunia, fungsi Bank Sentral sebagai LoLR telah dikenal sejak akhir abad ke-19. Konsep LoLR dielaborasikan oleh Thornton (1982) dan Bagehot (1873). Titik krusial dari doktrin klasik Bagehot menegaskan
bahwa peran LoLR berupa pemberian pinjaman kepada bank yang “solvent but illiquid” dengankondisi tertentu. Sesuai dengan undang-undang, Bank Indonesia (BI) memiliki LoLR. Peran BI sebagai
LoLR tersebut diamanatkan dan dijelaskan dalam Undang-Undang Bank Indonesia, yaitu sejak UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, sampai dengan terbitnya UU No. 23 Tahun 1999
tentang BI, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009 (untuk selanjutnya disebut “UU BI”). Sebagai pemegang fungsi LoLR, BI memiliki
kewenangan sebagai pihak yang terakhir untuk memberikan pinjaman kepadabank-bank yang
mengalami kesulitan. Pihak yang terakhir berarti bank-bank dalam kesulitan likuiditas harus
mencari bantuan dari sumber-sumber lainnya terlebih dahulu, terutama dari bank lain. Fungsi
LoLR tersebut merupakan bagian dari jaring pengaman keuangan (financial safety net) yang
diperlukan dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan.
Dalam kaitannya dengan penanganan permasalahan likuiditas, UU No. 9 Tahun 2016
tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (selanjutnya disebut “UU
PPKSK”) dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b mencabut salah satu bentuk LoLR Bank Indonesia
yaitu FPD yang diatur dalam Pasal 11 ayat (4) dan (5) UU BI, namun masih mempertahankan
PLJP. FPD adalah fasilitas pembiayaan dari BI yang diputuskan oleh Komite Stabilitas Sistem
Keuangan (KSSK), yang dijamin oleh Pemerintah kepada bank yang mengalami kesulitan
likuiditas yang memiliki dampak sistemik dan berpotensi krisis, namun masih memenuhi
tingkat solvabilitas (Pasal 1 angka 9 PBI No. 10/31/PBI/2008 tentang FPD).
Terkait pelaksanaan fungsi LoLR, Thornton dan Bagehot menekankan adanya prinsip
yang harus dipenuhi, yaitu adanya kondisi illiquid tapi solvent, jaminan dan penalty rate.
Emergency Liquidity Assistance (ELA) merupakan salah satu tools untuk menangani kesulitan
likuiditas dari perekonomian nasional, secara spesifik dalam situasi yang luar biasa dan di saat
krisis. ELA bukan hanya bagian dari operasi moneter yang dilakukan oleh otoritas moneter,
karena di dalamnya juga melibatkan otoritas pengawas perbankan, fiskal dan bahkan di
beberapa negara melibatkan lembaga penjamin simpanan.
Kajian hukum ini disusun untuk memberikan rekomendasi bentuk ELA yang ideal dalam melengkapi fungsi LoLR yang dijalankan oleh BI. Kajian ini juga memperhatikan rekomendasi tim penilai Financial Sector Assesment Program (FSAP) dari International
Monetary Fund (IMF) dan World Bank dalam hasil penilaiannya yang dilakukan sejak
September 2016 sampai dengan February 2017 yang memberikan rekomendasi yaitu “Adjust
the emergency liquidity assistance framework to ensure it is effective.” Dengan rekomendasi
tersebut, IMF memandang ELA merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan efektifitas
penanganan krisis sistem keuangan, sehingga perlu dilakukan penyesuaian. |