Abstract |
: |
Indonesia berada di wilayah yang memiliki gerakan seismik yang aktif dengan frekuensi kegempaan yang tinggi. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh letak Indonesia yang berada pada pertemuan tiga lempeng besar benua, yaitu: Lempeng Eurasia di bagian utara, Lempeng Indo-Autralia di bagian selatan, dan Lempeng Pasifik di bagian timur (Ibrahim dkk., 2004). Berdasarkan catatan USGS (2019), lima dari dua puluh gempa bumi besar yang bersifat katastrofe di dunia terjadi di Indonesia. Gempa bumi tersebut terjadi di Laut Banda pada tahun 1938, gempa bumi dan tsunami di lepas pantai barat Pulau Sumatera bagian utara pada tahun 2004 dan 2012, gempa bumi di Nias tahun 2005, dan gempa bumi di bagian selatan Pulau Sumatera tahun 2007 (USGS, 2019). Gempa bumi besar tersebut memang jarang terjadi, namun apabila terjadi dampak yang ditimbulkan akan sangat besar (BMKG, 2018).
Kejadian gempa bumi yang bersifat katastrofe dapat menyebabkan banyak korban jiwa dan berdampak besar terhadap perekonomian, pembangunan, dan ketersediaan anggaran (UNISDR, 2017). Media Keuangan (2019) mencatat kerugian ekonomi akibat bencana yang berasal dari kerusakan bangunan dan nonbangunan setiap tahunnya rata-rata mencapai Rp22,8 triliun. Kerugian ekonomi tersebut akan semakin besar dengan bertambahnya jumlah penduduk yang disertai dengan perluasan wilayah, pembangunan insfrastruktur yang masif, serta adanya konsentrasi penduduk di perkotaan (BKF, 2018).
Besarnya dampak kerugian ekonomi yang timbul akibat bencana selama ini tidak diimbangi dengan kemampuan keuangan negara. Pemerintah setiap tahunnya hanya mengalokasikan dana cadangan kebencanaan sekitar empat triliun rupiah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (Media Keuangan, 2019). Kesenjangan antara besarnya kerugian ekonomi dan kemampuan pemerintah dalam menyediakan dana cadangan kebencanaan inilah yang menimbulkan kesenjangan pembiayaan (financing gap) (BKF, 2018). Kesenjangan tersebut menyebabkan terjadinya relokasi dari pos-pos anggaran lainnya ke pos pembiayaan bencana, sehingga berdampak pada tertundanya atau tidak tercapainya target pemerintah di bidang lain. Kesenjangan pembiayaan dan ketergantungan terhadap APBN juga berdampak pada lamanya waktu untuk memulihkan kondisi pascabencana.
Strategi pembiayaan kebencanaan sangat diperlukan pemerintah untuk mengatasi kesenjangan antara dampak kerugian ekonomi dan ketersediaan dana cadangan kebencanaan. Salah satu strategi pembiayaan bencana yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan melindungi aset negara. Perlindungan terhadap aset negara dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu dengan menanggung pembiayaan bencana menggunakan APBN/APBD, penyediaan infrastruktur publik yang berkualitas, dan pengalihan risiko melalui asuransi (BKF, 2018). Pada perkembangaan saat ini, metode pengalihan risiko melalui asuransi adalah yang paling sering dan paling banyak digunakan (Simanjuntak, 2016), nilai kerugian ekonomi akibat kerusakan bangunan gedung negara dialihkan risikonya (risk transfer) ke pihak lain sehingga tidak membebani APBN (Prastiya, 2014). Selain itu, melalui asuransi pemerintah juga dapat mengurangi biaya rekonstruksi pascabencana (UNISDR, 2015). |