Abstract |
: |
RINGKASAN EKSEKUTIF
A. Latar Belakang
Sistem keuangan memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian suatu negara. Sistem keuangan terdiri dari pasar keuangan, instrumen keuangan dan lembaga keuangan. Ketiga cakupan sistem keuangan ini secara keseluruhan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Salah satu unsur sistem keuangan yang penting adalah pasar keuangan. Secara garis besar pasar keuangan dapat dibagi menjadi pasar modal, pasar uang, dan pasar valuta asing (valas). Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan diperlukan pasar keuangan yang dalam, likuid dan efisien.
Salah satu aspek penting dalam aktivitas pasar keuangan adalah instrumen pasar keuangan. Sebagai contoh adalah penggunaan sertifikat deposito dan surat berharga komersial sebagai salah satu instrumen pasar keuangan, yang mana kedua instrumen tersebut memiliki karakteristik yang sama dengan surat berharga sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Surat Berharga sebagaimana diatur dalam KUHD relatif tidak mengalami perkembangan ataupun perubahan sejak diberlakukan di jaman penjajahan Belanda. Seiring berkembangnya berbagai ragam transaksi perbankan, saat ini banyak surat berharga yang diatur di luar KUHD yaitu dalam peraturan yang diterbitkan oleh otoritas atau lembaga yang berwenang.
Pengaturan surat berharga di luar KUHD dalam bentuk Undang-Undang adalah dengan diterbitkannya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Terhadap UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, UU No. 5 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara dan UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. Telah diterbitkan juga peraturan oleh lembaga atau otoritas, misalnya Peraturan Bank Indonesia No. 18/11/PBI/2016 tentang Pasar Uang; Peraturan Bank Indonesia No. 19/2/PBI/2017 tentang Transaksi Sertifikat Deposito Di Pasar Uang, serta POJK No. 10/POJK.03/2015 tentang Penerbitan Sertifikat Deposito oleh Bank.
Saat ini terdapat beberapa negara yang telah melakukan pengaturan terkait surat berharga dalam suatu undang-undang, di Inggris dengan nama The Bills of Exchange Act 1882, serta negara-negara Commonwealth seperti Australia, Singapura, New Zealand, India dan Mauritius. Dalam perkembangan pengaturan surat berharga di Indonesia saat ini, terdapat beberapa isu hukum surat berharga yang muncul, antara lain:
1. Belum ada undang-undang khusus yang mengatur mengenai surat berharga, yang antara lain mengatur mengenai prinsip-prinsip atau karakterisistik suatu instrumen dikualifikasi sebagai surat berharga. Peraturan mengenai surat berharga masih tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan baik undang-undang maupun peraturan perundang-undangan di bawah level undang-undang;
2. Belum ada batasan atau pengertian tunggal (unity) mengenai surat berharga, tetapi tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan dengan memberikan batasan atau pengertian yang berbeda;
3. Belum ada penggunaan kata atau frasa yang sama dalam hal pengalihan dan penjualan instrumen pasar keuangan yang termasuk dalam kualifikasi surat berharga. Selain itu pengaturan pengalihan surat berharga dalam KUHD hanya mengatur yang sifatnya manual dan belum atau tidak mengatur yang sifatnya elektronik;
4. Perlu adanya kejelasan terkait lembaga atau otoritas yang memiliki kewenangan di bidang pengaturan, penerbitan dan pengawasan surat berharga. Dalam praktik di lapangan terdapat lembaga atau otoritas yang memiliki keterkaitan dengan surat berharga yang ditransaksikan di pasar uang, yaitu Bank Indonesia, Kementerian Keuangan dan OJK;
5. Agar terdapat kepastian hukum dan perlindungan kepentingan para pihak yang terkait dengan penerbitan, penarikan dan pemindahtanganan surat berharga, maka perlu pengaturan semua jenis surat berharga dalam undang-undang.
Oleh karena itu, keberadaan undang-undang khusus mengenai surat berharga menjadi relevan untuk dapat dipertimbangkan untuk menggantikan dan menyempurnakan pengaturan surat berharga dalam KUHD serta menampung perkembangan dan kebutuhan pelaku bisnis, teknologi informasi serta menyesuaikan dengan undang-undang serupa yang berlaku di negara-negara lain. pengaturan surat berharga dalam satu undang-undang juga menjadi perhatian penting bagi lembaga/otoritas yang mengatur dan mengawasi pasar keuangan mengingat instrumen pasar keuangan berupa surat berharga merupakan salah satu instrumen penting dalam pasar keuangan. Sementara itu, pendalaman pasar keuangan menjadi concern tersendiri bagi Bank Indonesia dalam rangka mendukung pelaksanaan kebijakan moneter. Untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter, makro prudensial, sistem pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah yang dilakukan oleh Bank Indonesia, diperlukan pendalaman pasar keuangan guna mencapai pasar uang domestik yang efisien, likuid dan dalam.
B. Rumusan Permasalahan
1. Apakah pertimbangan-pertimbangan hukum mengenai kebutuhan atau urgensi pengaturan surat berharga dalam suatu undang-undang? Pertimbangan hukum ini antara lain dengan membandingkan pros dan kons pengaturan surat berharga saat ini, kebutuhan pendalaman pasar keuangan serta dari aspek pengaturan yang lebih fleksibel oleh lembaga/otoritas menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di pasar keuangan.
2. Apabila terdapat kebutuhan untuk pengaturan surat berharga dalam undang-undang, pokok-pokok pengaturan apa saja yang perlu diatur dalam RUU Surat Berharga?
Sebagai contoh pengaturan antara lain mengenai:
a. Definisi dan cakupan surat berharga
b. Ciri ciri atau karakteristik surat berharga termasuk dapat berbentuk scripless
c. Jenis-jenis Surat berharga di pasar uang dan surat berharga di pasar modal.
d. Perdagangan dan pengalihan surat berharga termasuk pengalihan secara elektronik
e. Lembaga/Otoritas yang memiliki kewenangan terkait dengan surat berharga
f. Pelimpahan kewenangan pengaturan surat berharga dalam peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh lembaga/otoritas terkait
g. Ancaman pidana/administrasi (perlu tidaknya).
3. Bagaimana sebaiknya pengaturan keterkaitan atau hubungan antara ketentuan surat berharga dalam KUHD dengan ketentuan dalam RUU Surat Berharga?
4. Bagaimana sebaiknya pengaturan keterkaitan atau hubungan antara ketentuan surat berharga dalam RUU Surat Berharga dengan ketentuan instrumen pasar keuangan yang merupakan surat berharga yang telah diatur oleh masing-masing lembaga atau otoritas terkait. Bagaimana batasan kewenangan di antara lembaga/otoritas tersebut dan pokok-pokok pengaturannya dalam RUU Surat Berharga?
5. Dengan memperhatikan perkembangan Pasar Keuangan dan pengaturan Surat Berharga yang tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan termasuk dalam Peraturan Bank Indonesia, sejauh mana kebutuhan atau urgensi pengaturan Surat Berharga dalam Undang-undang, khususnya juga terkait dengan kewenangan Bank Indonesia dalam mengatur penerbitan instrumen Pasar Uang sebagai surat berharga.
6. Bagaimana bentuk pengaturan surat berharga di negara lain, baik negara yang menganut civil law atau common law?
a. Apakah diatur dalam suatu undang-undang atau diatur oleh lembaga pengawas (bank sentral, otoritas pengawas keuangan atau kementerian keuangan)?
b. Bagaimanakah konstruksi serta isi pengaturan dalam undang-undang surat berharga tersebut?
c. Bagaimanakah kewenangan dari lembaga/otoritas terkait pengaturan dan pengembangan instrumen pasar keuangan sebagai surat berharga?
d. Apakah pengaturan dalam undang-undang surat berharga tersebut ada yang diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh lembaga/otoritas? Apabila ada diberikan penjelasan lembaga/otoritas yang mengatur dan cakupan pengaturannya
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan-pertimbangan hukum mengenai kebutuhan atau urgensi pengaturan surat berharga dalam suatu undang-undang.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis dalam hal terdapat kebutuhan untuk pengaturan surat berharga dalam undang-undang, pokok-pokok pengaturan apa saja yang perlu diatur dalam RUU Surat Berharga.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan hubungan antara ketentuan surat berharga dalam RUU Surat Berharga dengan ketentuan instrumen pasar keuangan yang merupakan surat berharga yang telah diatur oleh masing-masing lembaga atau otoritas terkait.
4. Untuk mengetahui dan menganalisis batasan kewenangan di antara lembaga/otoritas tersebut dan pokok-pokok pengaturannya dalam RUU Surat Berharga.
5. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk pengaturan surat berharga di negara lain, baik negara yang menganut civil law atau common law.
D. Manfaat Kajian
Urgensi Pembentukan Undang-Undang Surat Berharga Dalam Mendukung Pendalaman Pasar Keuangan untuk memberikan rekomendasi dari sisi hukum mengenai kebutuhan pengaturan surat berharga dalam undang-undang sebagai pendukung pendalaman pasar keuangan. Hal ini mengingat dalam pelaksanaan pengaturan dan pengembangan pasar uang, aspek hukum surat berharga sebagai instrumen pasar uang sangatlah penting karena ketentuannya diatur secara khusus oleh Bank Indonesia. Hasil kajian hukum dapat menjadi salah satu pertimbangan Bank Indonesia dalam mengambil kebijakan pengaturan dan pengembangan pasar uang dalam rangka pendalaman pasar keuangan, baik dari aspek hukum surat berharga sebagai instrumen pasar uang maupun aspek hukum kewenangan Bank Indonesia dalam mengatur dan mengembangkan pasar uang.
E. Metode Kajian
Kajian ini adalah kajian hukum normatif (doktriner) dengan menggunakan data sekunder yang mencakup bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan nasional, traktat/peraturan perundang-undangan internasional terkait surat berharga, lembaga/otoritas yang berwenang dan pasar keuangan. Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan dalam kajian hukum ini berbagai buku, makalah ilmiah dan hasil penelitian yang membahas tentang surat berharga, lembaga/otoritas antara lain bank sentral dalam kaitannya dengan pengaturan instrumen pasar uang sebagai bagian dari pasar keuangan. Berdasarkan tipologinya, kajian ini adalah kajian deskriptif karena berupaya memberikan data yang seakurat mungkin tentang keadaan surat berharga di Indonesia. Selain pendekatan perundang-undangan (statute approach), kajian hukum ini juga menggunakan pendekatan perbandingan (comparative approach) dengan mengkaji pengaturan surat berharga di beberapa negara yang menganut civil law dan common law system, antara lain: Inggris, India, Republik Mauritius, Belanda, Singapura, Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat. Pendekatan perbandingan diperlukan untuk mempelajari, antara lain jenis aturan dan cakupan pengaturan surat berharga di negara tersebut.
Dari studi perbandingan terhadap delapan negara yaitu Inggris, India, mauritius, Belanda, Singapura, Australia, New Zealand, dan Amerika Serikat, pengaturan menggunakan annotasi digunakan hampir di semua negara dengan sistem common law (yang dijadikan sampling). Sistem annotasi dipandang mampu menjaga kerunutan perubahan ketentuan-ketentuan sejak dari awal mula pengaturan hingga pada pengaturan terkini. Amerika Serikat dan Belanda memiliki pengaturan yang berbeda dari 6 negara lain karena menggunakan hasil kesepakatan organisasi kawasan (Belanda) dan kodifikasi (Amerika Serikat). Jika memperbandingkan hasil perbandingan tersebut, sistem yang digunakan Amerika Serikat yang paling mirip dengan kondisi yang berlaku di Indonesia, meskipun belum semua ketentuan tentang surat berharga di Indonesia telah terhimpun menjadi 1 kodifikasi. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang digunakan di Indonesia sebagai sumber utama pengaturan hukum surat berharga di Indonesia tetap tidak menutup pengaturan surat berharga dalam ketentuan undang-undang lain. Hal inilah yang kemudian menjadi fokus pengaturan surat berharga ke depan akan seperti apa. Kodifikasi dalam sebuah ketentuan peraturan perundang-undangan dalam sebuah undang-undang, sebagai contoh jika akan tetap mempertahankan KUHD (sebagai pengaturan utama dengan perubahan yang dirasa perlu untuk mengakomodasi perkembangan praktik surat berharga) dirasa menjadi proses yang akan memakan waktu cukup panjang , sehingga tidak dapat digunakan secara cepat, mengingat kebutuhan pengaturan surat berharga yang cukup medesak. Sistem annotasi yang dianut oleh negara-negara common law juga belum pernah digunakan di Indonesia dan memiliki kelemahan cukup krusial menurut pakar hukum tata negara di Indonesia, mengingat kemungkinan judicial review yang sangat tinggi.
F. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Pertimbangan Hukum Urgensi Pengaturan Surat Berharga Dalam Suatu Undang-Undang
a) Existing condition pengaturan surat berharga di Indonesia
1) Terfragmentasi di berbagai jenis dan level peraturan secara sporadic
Pengaturan tentang surat berharga saat ini masih terfragmentasi, yaitu tersebar di berbagai jenis dan level peraturan secara sporadic. Secara garis besar, pengaturan surat tersebut dapat dibedakan ke dalam dua bagian besar, yaitu pengaturan di dalam KUHD dan pengaturan di luar KUHD. Dalam KUHD diatur wesel, cek, surat sanggup, kwitansi atau promes atas tunjuk.
Pengaturan surat berharga di luar KUHD, misalnya UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Terhadap UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial, Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter, Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 19/2/PBI/2017 tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 10/POJK.03/2015 tentang Penerbitan Sertifikat Deposito oleh Bank, maupun Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) Nomor. 16/23/DPM tentang Operasi Pasar Terbuka.
Pengaturan surat berharga di luar KUHD pada industri pasar modal juga masih bersifat sporadic di beberapa peraturan. Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal, Keputusan BEI Nomor II-A Kep-00113/BEI/12-2016 Tentang Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal No. Kep-39/PM/2003 tentang Kontrak Berjangka dan Opsi atas Efek atau Indeks Efek.
terdapat pengaturan tersendiri untuk surat berharga pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, misalnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, Peraturan OJK (POJK) No. 18/POJK.04/2015 tentang Penerbitan dan Persyaratan Sukuk, Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
2) Beberapa pengaturan surat berharga usianya sudah sangat tua dan tidak dapat mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat dalam praktik
Usia KUHD yang sudah berumur hampir dua ratus tahun, maka wajar apabila dampaknya adalah pengaturan surat berharga dalam KUHD sudah tidak bisa lagi mengakomodasi perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat dalam praktik transaksi bisnis di pasar keuangan Indonesia, baik pasar modal, pasar uang, maupun pasar valas.
3) Pengaturan surat berharga kurang komprehensif dan kurang detil
Pengaturan surat berharga yang ada saat ini, baik yang diatur di dalam KUHD maupun di luar KUHD, sifatnya kurang komprehensif, karena pengaturannya belum mengatur hal-hal yang sifatnya fundamental, misalnya mengenai definisi surat berharga itu sendiri. Peraturan lain di bidang perbankan ataupun pasar modal juga tidak memberikan batasan atau pengertian tunggal (unity) mengenai surat berharga, tetapi memberikan batasan atau pengertian yang berbeda-beda, misalnya hanya memberikan contoh atau jenis dari surat berharga saja.
b) Pro dan kontra pengaturan surat berharga
Pengaturan maupun pengoperasian surat berharga selama ini melibatkan beberapa lembaga/institusi keuangan yang diberikan otoritas untuk mengaturnya, tergantung pada pasar keuangan mana surat berharga tersebut ditransaksikan, apakah di pasar modal, pasar uang, atau pasar valuta asing (valas). Pengaturan surat berharga pada industri perbankan selama ini berada di bawah otoritas institusi seperti Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu juga memungkinkan bagi Kementerian Keuangan untuk melakukan pengawasan terhadap pengadministrasian surat berharga tersebut. Sementara itu, pada industri pasar modal terdapat OJK (dahulu di bawah otoritas Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan/Bapepam LK) yang berwenang mengatur instrumen efek sebagai surat berharga yang ditransaksikan di pasar modal. Selain itu, karakteristik dari jenis-jenis surat berharga yang ditransaksikan di ketiga pasar keuangan itu pun juga berbeda-beda, sehingga tidak dapat diatur secara umum atau general. Misalnya, pada pasar uang, instrumen keuangan yang digunakan merupakan surat berharga yang sangat likuid, yaitu memiliki jangka waktu maksimal satu tahun, misalnya treasury bills, commercial paper, banker’s acceptance, atau sertifikat deposito. Sementara itu, di wilayah pasar modal, instrumen yang digunakan adalah surat berharga jangka panjang lebih dari satu tahun, antara lain saham dan obligasi. Realita tersebut juga hendaknya perlu dipertimbangkan secara cermat kaitannya dengan lembaga atau institusi mana yang nantinya diberikan mandat untuk mengatur, mengelola, mengadministrasikan ataupun mengawasi operasionalisasi surat berharga terkait,
c) Kebutuhan pendalaman pasar keuangan serta aspek pengaturan yang lebih fleksibel
Pengaturan surat berharga dalam satu undang-undang juga menjadi perhatian penting bagi lembaga/otoritas yang mengatur dan mengawasi pasar keuangan, mengingat instrumen pasar keuangan berupa surat berharga merupakan salah satu instrumen penting dalam pasar keuangan. Sementara itu, pendalaman pasar keuangan menjadi concern tersendiri bagi Bank Indonesia dalam rangka mendukung pelaksanaan kebijakan moneter. Untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter, makro prudensial, sistem pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah yang dilakukan oleh Bank Indonesia, diperlukan pendalaman pasar keuangan guna mencapai pasar uang domestik yang efisien, likuid dan dalam.
d) Kebutuhan Akan Pengaturan Surat Berharga yang dapat Memberikan Kepastian dan Ketertiban Hukum
Pengaturan surat berharga yang terintegrasi dalam sebuah undang-undang yang komprehensif juga bermanfaat dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi para pelaku pasar, investor maupun lembaga terkait, mengenai surat berharga yang dapat diterbitkan. Selama ini ada saja pelaku usaha yang menerbitkan instrumen-instrumen yang mirip dengan surat berharga dengan menyiasati dengan memanfaatkan adanya loophole “instrumen-instrumen lain yang dipersamakan dengan itu” pada definisi surat berharga atau efek. Dengan dimunculkannya instrumen yang mirip surat berharga tersebut sementara dilihat secara syarat, fungsi, dan karakteristik instrumen tersebut bukan merupakan surat berharga, menjadi berdampak pada timbulnya penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh para pelaku usaha tadi yang tidak dapat ditegakkan menurut hukum surat berharga, sehingga tidak dapat juga memberikan perlindungan hukum bagi para inverstor yang dirugikan. Oleh karena itu, demi memberikan kepastian hukum inilah maka perlu pengaturan surat berharga dalam sebuah undang-undang secara komprehensif.
Kepastian hukum ini juga menjadi aspek yang harus dipenuhi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan menurut Pasal 6 ayat (1) huruf i UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan ketentuan tersebut, dipersyaratkan bahwa materi peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas ketertiban dan kepastian hukum. Oleh karena itu, pengaturan surat berharga dalam undang-undang nantinya harus memberikan kepastian dan ketertiban hukum bagi pengelolaan surat berharga di market place.
2. Pokok-Pokok Materi Pengaturan Yang Perlu Diatur Dalam Hal Akan Dibentuk RUU Surat berharga
Rekomendasi untuk pengaturan RUU Surat Berharga tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a. Definisi dan cakupan surat berharga
RUU Surat Berharga perlu mengatur mengenai pengertian atau definisi surat berharga. Hal ini sesuai dengan asas kejelasan rumusan dalam pembentukan undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf f UU No. 12 Tahun 2011. Definisi ini merupakan materi pengaturan yang fundamental sifatnya untuk nantinya secara operasional dapat dipakai sebagai landasan untuk menengarai apakah suatu instrumen termasuk sebuah surat berharga. Definisi surat berharga tersebut hendaknya juga meliputi batasan atau cakupan surat berharga, agar dapat memberikan kriteria dan gambaran yang jelas dan rinci terkait instrumen surat berharga yang dapat diterbitkan ataupun ditransaksikan dalam pasar keuangan. Terkait dengan definisi surat berharga tersebut, pendefinisian surat berharga perlu dibuat secara jelas, rinci tetapi juga komprehensif.
b. Fungsi surat berharga
RUU Surat Berharga nantinya perlu mengatur tentang fungsi surat berharga dalam transaksi bisnis masa kini dan mendatang. Pengaturan tentang fungsi surat berharga ini penting dalam rangka untuk membedakan surat berharga dari surat-surat yang lain, misalnya surat yang berharga. Pengaturan tentang fungsi surat berharga ini juga perlu dalam rangka mewujukan kepastian hukum dalam penegakan hukum surat berharga, apakah sebuah kasus yang menyangkut surat yang mirip dengan surat berharga dapat ditegakkan dengan hukum surat berharga ataukah tidak.
c. Syarat, Ciri-ciri atau karakteristik surat berharga termasuk dapat berbentuk scripless
Pengaturan tentang fungsi surat berharga berkaitan erat dengan pengaturan tentang syarat surat berharga, baik itu secara material maupun formal. Syarat material maupun formal serta ciri-ciri atau karakter surat berharga juga perlu untuk diatur dalam rangka memberikan pedoman (guiding principles) dan kejelasan bagi institusi/lembaga/otoritas yang diberikan kewenangan untuk menerbitkan surat berharga. Pengaturan terkait surat berharga secara scripless (tanpa warkat) juga perlu diakomodasi dalam rangka mengadaptasi perkembangan teknologi dan perkembangan kebutuhan efisiensi penggunaan surat berharga demi efisiensi transaksi surat berharga di market place.
d. Surat berharga di pasar uang dan surat berharga di pasar modal.
Pengaturan surat berharga juga perlu juga mencakup pedoman pengaturan tentang surat berharga yang ditransaksikan di pasar keuangan, baik pasar uang maupun pasar modal dengan tujuan untuk memberikan koridor hukum terkait surat berharga apa saja yang dapat ditransaksikan secara legal. Akan tetapi, untuk pengaturan cakupan surat berharga ini hendaknya tidak bersifat terbatas (exhausted list/limitative), sehingga masih secara terbuka membuka kesempatan bagi tumbuh dan berkembangnya surat-surat berharga baru sepanjang itu memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan, baik mengenai batasan maupun ciri dan karakteristiknya secara hukum.
e. Pengaturan hak dan kewajiban para pihak dalam surat berharga
Ketentuan yang perlu untuk diakomodasi dalam RUU Surat Berharga adalah hak dan kewajiban para pihak dalam surat berharga, misalnya hak kewajiban penerbit surat berharga, hak dan kewajiban pemegang surat berharga, maupun hak dan kewajiban tersangkut (bank). Perlu juga diatur hak dan kewajiban para pihak terkait dalam surat berharga, misalnya bila ada penjaminan dalam surat berharga (misalnya adanya aval, intervensi). Di samping itu, perlu juga diatur secara teknis dalam perlindungan hukum dalam hal terjadi non-akseptasi atau non pembayaran.
f. Perdagangan dan pengalihan surat berharga termasuk pengalihan secara elektronik
Materi lain yang perlu juga untuk diatur dalam RUU Surat Berharga adalah mengenai cara peralihan surat berharga dalam perdagangan surat berharga. Cara peralihan surat berharga ini penting, mengingat salah satu unsur utama dan fungsi surat berharga adalah dapat diperalihkan atau diperdagangkan dengan mudah. Peralihan surat berharga secara elektronik (tanpa warkat/scripless) perlu diakomodasi dalam RUU, agar lebih bersifat futuristik dan dapat diterapkan terhadap mekanisme baru dalam pengelolaan maupun peralihan surat berharga.
g. Lembaga/Otoritas yang memiliki kewenangan terkait dengan surat berharga
Pengaturan tentang institusi/lembaga yang diberi otoritas terkait surat berharga ini juga perlu diperhatikan. Hal ini secara tegas juga diatur dalam Pasal 5 huruf b UU No. 12 Tahun 2011 mengenai asas kelembagaan. Pengaturan tentang kelembagaan tersebut tidak hanya mengatur tentang institusi/lembaga yang diberikan otoritas untuk mengatur, mengadministrasi atau mengawasi surat berharga, tetapi juga hubungan antar lembaga tersebut. Perlu ditentukan tugas kewenangan masing-masing lembaga/institusi beserta fungsi dan kewajibannya, serta sifat pertanggungjawaban dari pelaksanaan tugas kewenangan maupun fungsi dan kewajiban masing-masing lembaga. Hal ini juga selaras dengan asas materi pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, bahwa materi pembentukan perundang-undangan harus mencerminkan asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan.
h. Pelimpahan kewenangan pengaturan surat berharga dalam peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh lembaga/otoritas terkait
Dengan adanya beberapa lembaga otoritas yang ditunjuk dalam mengatur dan mengawasi industri perbankan, maka terkait dengan pelaksanaan tugas atau kewenangan dari institusi/lembaga otoritas tersebut juga perlu dipertimbangkan kemungkinan pengaturan pelimpahan wewenang lembaga yang diberikan kewenangan atau otoritas kepada instansi teknis yang ditunjuk untuk penyelenggaraan pengelolaan surat berharga. Hal ini untuk memberikan kejelasan kewenangan masing-masing lembaga atau otoritas, serta dalam rangka menghindari terjadinya konflik kewenangan mengatur yang dimiliki.
i. Perlunya pengaturan sanksi yang jelas dan tegas terhadap pelanggaran surat berharga
Dalam pengaturan RUU Surat Berharga juga perlu untuk tetap diatur tentang pemberian sanksi yang jelas dan tegas bagi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam surat berharga. Pengaturan tentang sanksi ini sangat diperlukan dalam rangka untuk memberikan punishment terhadap pihak-pihak yang telah melakukan pelanggaran, sekaligus juga sebagai deterrent effect bagi masyarakat secara umum agar tidak melakukan pelanggaran serupa. Sanksi yang diberikan secara umum dapat berupa sanksi administratif maupun juga sanksi pidana, mengingat operasionalisasi transaksi surat berharga di pasar keuangan rentan dengan tindak pidana penipuan, pemalsuan dan sebagainya. Terkait kemungkinan pemberian sanksi pidana ini tentu dengan memperhatikan prinsip ultimum remedium, bahwa pengenaan sanksi pidana tersebut baru diberikan sebagai alternatif terakhir setelah sanksi-sanksi administratif sudah diberikan tetapi tetap ada pelanggaran yang sifatnya berulang. Selain itu, sanksi pidana memungkinkan diberikan apabila memang dirasa diperlukan, misalnya terahadap pelanggaran yang sifatnya berat dan serius, atau mengandung unsur-unsur tindak pidana.
j. Perlunya pengaturan tentang ketentuan peralihan
Untuk mengatur tentang hal-hal terkait berlakunya peraturan surat berharga yang baru dan efektifitas pengaturan surat berharga terdahulu perlu diatur dengan jelas dalam sebuah ketentuan peralihan dalam undang-undang surat berharga tersebut. Hal ini penting untuk menghindari konflik hukum terutama terkait saat berlakunya peraturan yang baru dan status peraturan terdahulu, apakah masih berlaku atau justru dicabut/dihapuskan. Begitu pentingnya peraturan peralihan ini, maka apabila dilihat dari aspek teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, ketentuan peralihan ini termasuk ke dalam bagian batang tubuh, yang berfungsi menjembatani antara waktu keberlakuan peraturan undang-undang yang baru dan status peraturan perundang-undangan yang lama.
3. Pengaturan keterkaitan atau hubungan antara ketentuan surat berharga dalam KUHD dengan ketentuan dalam RUU Surat Berharga
Dalam pengaturan surat berharga pada RUU nanti, tterdapat tiga alternatif pengaturan yang dapat dilakukan, pertama, pengaturan yang bersifat lex specialist derogat legi generalis, dan kedua, pencabutan ketentuan Surat Berharga dalam KUHD dan digantikan dengan RUU Surat Berharga termasuk memasukkan kembali materi Surat Berharga dalam KUHD ke RUU Surat Berharga dan ketiga, amandeman ketentuan surat berharga dalam KUHD.
a. Pengaturan yang bersifat lex specialist derogat legi generalis
Asas Lex Specialist Derogat Legi Generalis diartikan sebagai hukum atau perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan hukum atau perundang-undangan yang bersifat umum, artinya, jika terjadi konflik atau pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang khusus dengan yang umum, maka yang berlaku adalah perundang-undangan yang bersifat khusus.
Dalam konteks pengaturan keterkaitan atau hubungan antara ketentuan surat berharga dalam KUHD dengan ketentuan dalam RUU Surat Berharga, maka ketentuan dalam KUHD adalah sebagai Lex Generalis sementara RUU Surat Berharga sebagai Lex Specialist. Hubungan atau keterkaitan seperti ini, telah pernah diterapkan dalam perundang-undangan yang lain, baik secara tegas maupun tidak tegas. Secara tegas maksudnya adalah dengan menyebutkan hubungan tersebut dalam salah satu pasal perundang-undangan sebagaimana ketentuan Pasal 1 KUHD terhadap KUH Perdata. Sementara secara tidak tegas, adalah dengan tidak menyebutkan secara langsung dalam satu pasal namun ketentuan yang lama tidak dicabut atau masih berlaku.
Dalam konteks ini, ketentuan surat berharga dalam KUHD adalah sebagai Lex Generalist sementara itu RUU Surat Berharga adalah sebagai Lex Specialist-nya. Dengan demikian, pengaturan surat berharga sebagaimana telah diatur dalam KUHD seperti ketentuan cek, wesel, surat sanggup, dan lain sebagainya, masih tetap berlaku, disamping terdapat juga ketentuan-ketentuan surat berharga yang diatur dalam RUU Surat Berharga.
b. Pencabutan ketentuan Surat Berharga dalam KUHD yang digantikan dengan RUU Surat Berharga.
Alternatif kedua adalah dengan menyatakan secara tegas bahwa ketentuan dalam KUHD dinyatakan tidak berlaku lagi dan digantikan dengan RUU Surat Berharga. Pilihan ini mempersyaratkan bahwa ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam RUU Surat Berharga harus bersifat komprehensif dan lengkap, yang memuat antara lain mengenai definisi surat berharga, jenis-jenis surat berharga, syarat formil dan materil dan lain-lain.
Alternatif pencabutan ini dan mengantikan dengan RUU Surat Berharga tersendiri, tidak dapat dilepaskan pada fakta bahwa keberadaan KUHD yang telah sangat berusia lama sehingga dalam banyak hal tidak sesuai lagi dalam perkembangan zaman. Dalam perkembangannya, pengaturan Surat Berharga dalam KUHD juga telah ketinggalan mengingat dalam KUHD pengkategorian surat berharga hanya sebatas alat pembayaran (payment instrument).
c. Amandemen Ketentuan Surat Berharga Langsung di KUHD
Melalui alternatif ini, keberadaan Surat Berharga yang diatur masih tetap berlaku dan tetap menjadi rujukan sementara itu hal-hal yang dianggap tidak relevan lagi dapat dicabut dan dapat menambahkan ketentuan-ketentuan baru yang sekiranya diperlukan, dalam KUHD secara langsung. Metode ini sebenarnya tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia, khususnya dalam tingkatan peraturan perundang-undangan , tapi dipakai dalam amandemen konstitusi RI: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kelebihan dan Kelemahan Pengaturan Keterkaitan KUHD
dengan RUU Surat Berharga
No Alternatif Metode
Kelebihan Kelemahan
1 Pengaturan yang bersifat lex specialist derogat legi generalis. Penyusunan RUU Surat Berharga bersifat melengkapi kekurangan yang ada dalam KUHD dalam bentuk undang-undang tersendiri. - Pengaturan Surat Berharga masih bersifat tersebar atau belum menyatu dalam suatu produk perundang-undangan.
2 Pencabutan ketentuan Surat Berharga dalam KUHD yang digantikan dengan RUU Surat Berharga. Pengaturan surat berharga menyatu dalam satu produk perundang-undangan - Pengkajian RUU Surat Berharga haruslah bersifat komprehensif dan lengkap.
3 Amandemen Ketentuan Surat Berharga Langsung di KUHD.
Tidak diperlukan RUU Surat Berharga melainkan cukup merevisi atau menambahkan ketentuan yang Surat Berharga dalam KUHD Secara langsung.
- Alternatif atau metode ini tidak dikenal dalam sistem hukum di Indonesia pada produk peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang.
Merujuk pada tabel kelebihan dan kelemahan pengaturan keterkaitan KUHD dengan RUU Surat Berharga berdasarkan tiga alternatif metode pengaturan, pengaturan melalui pencabutan ketentuan Surat Berharga dalam KUHD yang digantikan dengan RUU Surat Berharga, lebih tepat dibandingkan dengan alternatif yang lain. Selain karena alternatif ini membuat pengaturan surat berharga menyatu dalam satu produk perundang-undangan—dalam hal ini RUU Surat Berharga, praktek metode ini telah banyak dilakukan terhadap ketentuan-ketentuan dalam KUHD yang dianggap tidak sesuai lagi.
4. Batasan kewenangan antara lembaga/otoritas terkait Surat Berharga dalam RUU Surat Berharga
Dalam rangka penyusunan RUU Surat Berharga, batasan kewenangan antara lembaga/otoritas terkait Surat Berharga dalam RUU Surat Berharga menjadi penting untuk diatur.
a. Kewenangan Bank Indonesia
Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut, pertama, menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; kedua, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan ketiga, mengatur dan mengawasi Bank. Khusus kewenangan yang berkaitan dengan pengaturan dan pengawas perbankan telah beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Meskipun berdasarkan UU No. 21 Tahun 2011 disebutkan bahwa kewenangan yang berkaitan dengan pengaturan dan pengawasan perbankan yang dahulunya oleh Bank Indonesia kemudian dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, tidak berarti bahwa kewenangan Bank Indonesia terkait indusri perbankan sama sekali tidak ada lagi. Penjelasan Pasal 7 UU No. 21 Tahun 2011 menyebutkan bahwa pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan macroprudential, yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam pasal ini, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada Perbankan.
Bank Indonesia masih memiliki kewenangan yang bersifat macroprudential termasuk kewenangan sebagai lender of last resort dalam industri perbankan. Selanjutnya, berkaitan dengan tugasnya dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, Bank Indonesia berwenang:
a. melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran;
b. mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan tentang kegiatannya;
c. menetapkan penggunaan alat pembayaran.
b. Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Ketentuan Pasal 6 UU OJK menyebutkan bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal;
c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
c. Koordinasi Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia
Meskipun, baik Bank Indonesia maupun Otoritas Jasa Keuangan, memiliki kewenangan masing-masing sebagaimana diatur dalam undang-undang masing, namun dalam hal tertentu dua lembaga tersebut tidak dapat bekerja sendiri melainkan justru harus berkoordinasi satu sama lain. Di antara kewenangan-kewenangan yang perlu dikoordinasikan tersebut adalah sebagaimana diatur Pasal 39 UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan.
Dalam Pasal 44 UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, disebutkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dibentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan meskipun telah dicabut berdasarkan Pasal 53 Ayat (1) huruf c UU No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
d. Batas Kewenangan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan
Sebagaimana juga telah disampaikan sebelumnya bahwa secara garis besar pasar keuangan dapat dibagi menjadi pasar modal, pasar uang, dan pasar valuta asing (valas). Dalam konteks surat berharga, pembedaan ini tidak dapat dipertahankan, karena fakta bursa yang ada di Indonesia seperti Bursa Efek Indonesia, juga memfasilitasi transaksi perdagangan instrumen Surat Berharga yang bersifat jangka pendek seperti surat wesel dan sejenis. Dalam kenyataannya masih terdapat beberapa Surat Berharga yang secara formal belum ada pengaturannya baik dalam KUHD maupun di luar KUHD. Dalam realisasinya dasar hukum dikaitkan dengan Surat Berharga sejenis yang telah mempunyai pengaturan secara khusus.
Dalam rangka penyusunan RUU Surat Berharga penting dalam RUU Surat Berharga tersebut disebutkan lembaga-lembaga yang terkait dan termasuk juga panduan atau batasan-batasan kewenangan dari tiap lembaga-lembaga terkait. Sejauh ini, kewenangan Otoritas Jasa Keuangan adalah instrumen-instrumen surat berharga (efek) yang diperdagangkan di Pasar Modal, sementara itu, Bank Indonesia adalah terkait dengan istrumen-instrumen yang diperdagangkan di Pasar Uang. Namun demikian, perlu dibuka ruang adanya pengaturan oleh dua institusi yang berbeda BI dan OJK, terhadap satu produk apabila hal yang menjadi kewenangan masing-masing lembaga tersebut, terpenuhi. Misalnya, Sertifikat Deposito, sebagai suatu produk bank adalah kewenangan OJK karena ia diterbitkan oleh Bank yang menjadi kewenangan OJK untuk mengawasinya. Namun karena ia, diperdagangan di Pasar Uang, maka BI pun memiliki kewenangan untuk mengaturnya, karena bagian dari kewenangan BI terkait dengan kewenangan kebijakan moneter.
Oleh karenanya, terkait adanya irisan-irisan kewenangan antara OJK dan Bank Indonesia tersebut, sangat penting untuk dipertimbangkan dalam RUU Surat Berharga adanya pengaturan Hubungan Koordinasi dan Protokol Koordinasi antara otoritas terkait.
Batasan kewenangan tersebut dapat diilustrasikan dalam bagan sebagai berikut:
Bagan 1
Irisan Kewenangan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan
Terkait Surat Berharga.
Instrumen
Jangka Pendek
dan Pelaku
di Pasar Uang
Sumber: Peneliti
5. Urgensi pengaturan Surat Berharga dalam Undang-undang, khususnya juga terkait dengan kewenangan Bank Indonesia dalam mengatur penerbitan instrumen Pasar Uang sebagai surat berharga
Pengaturan surat berharga dalam sebuah peraturan di Indonesia diperlukan guna memberikan interpretasi yang lebih jelas dalam transaksi surat berharga. Kepastian yang dimaksudkan tidak harus dimaknai dengan pengaturan yang sangat rigid terkait apa yang dapat dimaksudkan surat berharga, namun justru memberikan cakupan yang lebih luas tentang surat berharga, melingkupi surat berharga yang telah ada dan surat berharga yag akan ada dikemudian hari. Pengaturan dalam sebuah undang-undang juga dapat dimaknai sebagai dasar pengaturan surat berharga di Indonesia, khususnya otoritas yang berwenang mengatur penerbitan instrumen pasar uang sebagai surat berharga. Undang-Undang Surat berharga diharapkan dapat mempertegas kewenangan Bank Indonesia sebagai otoritas yang berwenang melakukan pengaturan tersebut. Ada pengaturan yang perlu mendapat tingkat pengaturan pada taraf undang-undang sehingga peraturan-peraturan teknis di level Bank Indonesia menjadi memiliki dasar yang lebih kuat, apalagi jika akan diatur secara spesifik secara guidance based (panduan batasan-batasan kewenangan).
Di Indonesia, pengaturan surat berharga di luar KUHD terdapat dalam beberapa undang-undang dan beberapa peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan oleh beberapa otoritas, yaitu Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Mengingat peluang irisan kewenangan antara kedua otoritas ini dan mengingat trend perkembangan surat berharga yang dapat saja tidak terprediksi, dikarenakan pesatnya pengaruh teknologi dalam berbagai bidang seperti layaknya perkembangan trend cryptocurrency, bukan tidak mungkin jika dikemudian hari akan muncul surat berharga lain yang belum diatur pada peraturan-peraturan yang tersedia. Pengaturan surat berharga dalam sebuah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan pengaturan yang lebih jelas terkait aturan main dalam penggunaan surat berharga.
G. Penutup
1. Kesimpulan
a. Pertimbangan-pertimbangan hukum mengenai kebutuhan atau urgensi pengaturan surat berharga dalam suatu undang-undang, adalah:
1) Existing condition pengaturan surat berharga di Indonesia, meliputi:
a) Pengaturan yang terfragmentasi di berbagai jenis dan level peraturan secara sporadic
b) Beberapa pengaturan surat berharga usianya sudah sangat tua dan tidak dapat mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat dalam praktik
c) Pengaturan surat berharga kurang komprehensif dan kurang detil
2) Adanya Pro dan kontra pengaturan surat berharga, baik terkait dengan jenis pengaturan surat berharga sesuai dengan karakteristik market place-nya, maupun terkait eksistensi beberapa lembaga otoritas terkait surat berharga
3) Kebutuhan pendalaman pasar keuangan serta aspek pengaturan yang lebih fleksibel dalam rangka pengaturan dan pengembangan surat berharga demi menunjang perekonomian nasional
4) Perlunya pengaturan surat berharga yang memberikan kepastian hukum
b. Sehubungan dengan adanya kebutuhan untuk pengaturan surat berharga dalam undang-undang, maka pokok-pokok pengaturan yang perlu diatur dalam RUU Surat Berharga antara lain adalah: definisi dan cakupan surat berharga, fungsi syarat atau karakteristik surat berharga termasuk dapat berbentuk scripless, surat berharga di pasar uang dan surat berharga di pasar modal, hak kewajiban para pihak dalam surat berharga, perdagangan dan pengalihan surat berharga termasuk pengalihan secara elektronik, lembaga/otoritas yang memiliki kewenangan terkait dengan surat berharga, pelimpahan kewenangan pengaturan surat berharga dalam peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh lembaga/otoritas terkait, sanksi terhadap pelanggaran surat berharga
c. Pengaturan keterkaitan atau hubungan antara ketentuan surat berharga dalam KUHD dengan ketentuan dalam RUU Surat Berharga dapat berbentuk, pertama, pengaturan yang bersifat lex specialist derogat legi generalis. Ketentuan surat berharga dalam KUHD masih tetap berlaku sebagai Lex Generalist sementara itu RUU Surat Berharga adalah sebagai Lex Specialist-nya. Kedua, pencabutan ketentuan Surat Berharga dalam KUHD dan digantikan dengan RUU Surat Berharga termasuk memasukkan kembali materi Surat Berharga dalam KUHD ke RUU Surat Berharga. Dengan demikian, ketentuan Surat Berharga dalam KUHD dinyatakan tidak berlaku lagi. Pilihan pengaturan melalui pencabutan ketentuan Surat Berharga dalam KUHD dan digantikan dengan RUU Surat Berharga akan lebih tepat dalam kontek agar pengaturan Surat Berharga dapat bersifat menyatu dan tidak lagi tersebar, yaitu tidak lagi di KUHD dan di luar KUHD;
d. Dalam rangka penyusunan RUU Surat Berharga penting dalam RUU disebutkan lembaga-lembaga yang terkait dan termasuk juga panduan yang dapat membedakan antara batasan-batasan kewenangan dari tiap lembaga-lembaga terkait. Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan adalah instrumen-instrumen surat berharga (efek) yang diperdagangkan di Pasar Modal, sementara itu, Bank Indonesia adalah terkait dengan instrumen-instrumen yang diperdagangkan di Pasar Uang. Selanjutnya, diperlukan juga untuk dibuka ruang adanya pengaturan oleh dua institusi yang berbeda BI dan OJK, terhadap satu produk apabila hal yang menjadi kewenangan masing-masing lembaga tersebut, terpenuhi, seperti untuk Sertifikat Deposito ataupun terdapatnya Pelaku Pasar yang yang dapat melakukan kegiatan di Pasar Modal ataupun Pasar Uang. Oleh karenanya, terkait adanya irisan-irisan kewenangan antara OJK dan Bank Indonesia tersebut, sangat penting untuk dipertimbangkan dalam RUU Surat Berharga adanya pengaturan Hubungan Koordinasi dan Protokol Koordinasi antara otoritas terkait;
e. Dengan memperhatikan perkembangan Pasar Keuangan dan pengaturan Surat Berharga yang tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan, pengaturan surat berharga dalam sebuah undang-undang menjadi sangat penting. Pengaturan surat berharga dalam sebuah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan pengaturan yang lebih jelas terkait aturan main dalam penggunanan surat berharga. Hal ini didasarkan pada tidak adanya pengaturan spesifik tentang apa yang dimaksud dengan surat berharga dan praktek penyalahgunaan penerbitan surat yang menyerupai surat berharga. Aturan main yang hanya didasarkan pada tradisi pengaturan pada 2 tradisi hukum berbeda, yaitu common law system dan kontinental menjadi isu tersendiri jika para pihak tidak sepakat pengaturan mana yang akan digunakan pada surat berharga yang digunakan serta menghindari ambiguitas pengaturan dalam lapangan hukum yang berkaitan dengan surat berharga, seperti contohnya pengaturan surat berharga dalam hukum pasar modal, perbankan, maupun pasar uang. Selanjutnya, surat berharga yang ditransaksikan di pasar uang pun juga memiliki permasalahan yang harus segera diakomodasi mengingat delegasi kewenangan otoritas yang berwenang pun tidak spesifik disebutkan dalam sebuah undang-undang. |